Harga batu bara global saat ini melesat tinggi, akibat sanksi Uni Eropa, pasokan gas ke negara-negara Eropa, terutama Eropa Barat, menjadi tersendat. Banyak industri di Eropa yang terancam tidak bisa berproduksi karena ketiadaan stok gas. Akhirnya mereka beralih pada batu bara, yang tidak ramah lingkungan, karena tidak ada pilihan lain.
Lantaran kebutuhan dan permintaan (demand) terhadap batu bara yang tinggi, harga batu bara global pun melesat tinggi. Harga batu bara kontrak berjangka Oktober 2021 di bursa ICE Newcastle ditutup di US$ 440,9 per ton atau naik 3,25% dalam sepekan secara point to point.
Sejak awal tahun 2022 harga batu bara global telah terbang 191% dan dalam setahun terakhir mampu melonjak hingga 152%. Bahkan pada pekan ini (5 September 2022) harga batu bara kembali mendekati rekor tertinggi di US$ 446 per ton.
Dampak Kenaikan Harga Gas
Melonjaknya harga batu bara itu, tulis CNBC Indonesia, tidak bisa dipisahkan dari kenaikan harga gas. Harga gas alam EU Dutch TTF (EUR) melambung dalam beberapa hari terakhir, menyusul langkah perusahaan gas besar, Gazprom, yang menghentikan pengiriman gas melalui jaringan Nord Stream 1 karena jaringan itu disebut pemerintahnya sedang dalam proses perbaikan.
Pihak pemerintah menyalahkan sanksi Barat, yang disebut menghalangi pemeliharaan rutin pipa Nord Stream 1 dan menyebabkan terhambatnya aliran gas ke Eropa. Namun, Siemens Energy membantah alasan tersebut dan mengatakan bahwa sanksi tidak melarang pemeliharaan.
Sebelum putaran terakhir pemeliharaan, Gazprom sejatinya telah memotong aliran menjadi hanya 20% dari kapasitas pipa dan ikut membawa harga batu bara naik.
Jauh sebelumnya, pada awal September 2021 harga batu bara di pasar ICE Newcastle melesat dan menembus rekor baru, yakni tercatat US$ 173,1 per ton. Harga di US$ 173,1 per ton adalah rekor tertinggi, setidaknya sejak 2008. Rekor sebelumnya tercipta pada 31 Agustus 2021, yaitu US$ 171 per ton.
Energi Terbarukan Menjadi Mitos
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Afrika Selatan Gwede Mantashe mengingatkan krisis energi yang kini dihadapi Eropa membuktikan jika peran batu bara sangat penting. Pasokan energi terbarukan belum sepenuhnya bisa diandalkan sehingga penggunaan sumber energi fosil tetap diperlukan.
“Keinginan besar untuk mengalihkan sumber energi dari batu bara ke energi terbarukan menjadi mitos. Banyak yang mengira energi terbarukan akan menjadi penyelamat tetapi kenyataan yang kita lihat tidak demikian. Jerman telah mendapat pelajaran pahit dari kondisi itu,” tutur Mantashe, seperti dikutip dari mining.com.
Produksi dan Konsumsi Batu Bara Indonesia
Produksi batu bara Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat sejak tahun 2000 sebesar 77 juta ton, menjadi 256 juta ton pada tahun 2009. Setelah itu produksi batu bara Indonesia terus meningkat pesat. Pada tahun 2016 produksinya mencapai 456 juta ton, melebihi target nasional tercatat 419 juta ton. Artinya dari tahun 2009 ke tahun 2016 terjadi pertumbuhan produksi sebesar 78,13%, atau rata-rata tumbuh 13,02% per tahun.
Sedangkan pada tahun 2019, produksi batu bara nasional sudah mencapai 610 juta ton, ini pun melebihi target sebesar 530 juta ton. Selama sepuluh tahun terakhir, produksi batu bara terbesar terjadi pada 2019. Selanjutnya pada tahun 2020, diperkirakan angkanya sudah mencapai 414 juta ton hingga bulan September (kuartal III-2020), sementara target produksi sebesar 550 juta ton.
Sebelumnya, terdapat tren kenaikan produksi batu bara nasional sejak tahun 2010 sejumlah 275 juta ton menjadi 435 juta ton pada 2014. Kenaikan produksi nasional yang cukup signifikan tersebut disebabkan adanya kenaikan harga batu bara pada rentang 2010-2011, sebagai akibat dari meningkatnya permintaan batu bara dari China dan India. Walaupun terjadi penurunan harga batu bara sejak 2012, produksi batu bara nasional tetap mengalami peningkatan hingga tahun 2014 yang diiringi dengan peningkatan volume ekspor batu bara.
Produsen Batu Bara Nasional
Produksi batu bara di Indonesia dilakukan oleh BUMN, perusahaan swasta asing/domestik maupun perusahaan skala kecil, termasuk koperasi berdasarkan perjanjian Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) maupun Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.
Walaupun cadangan batu bara Indonesia tidak besar, namun produksinya relatif banyak, sekitar 5,5% produksi dunia atau urutan kelima produsen batu bara terbesar dunia. Produksi didominasi kalori rendah hingga sedang, mencerminkan cadangan batu bara Indonesia yang didominasi lignite dan sub-bituminous.
Produksi batu bara Indonesia pada awal 90-an belum mencapai 10 juta ton per tahun. Batu bara itu dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan BUMN, seperti, PT. Bukit Asam dari tambang di Muara Enim (Sumatera Selatan) dan Sawah Lunto (Sumatera Barat). Dengan diterapkannya sistem perijinan PKP2B di Pulau Kalimantan dan berkembangnya tekhnologi PLTU, produksi batu baru semakin meningkat tajam.
Target Produksi dan Konsumsi
Target produksi batu bara nasional selama lima tahun diproyeksikan menurun, yaitu sebesar 425 juta ton pada tahun 2015 hingga sebesar 400 juta ton pada tahun 2019. Sementara target konsumsi batu bara domestik mengalami peningkatan, yaitu sekitar 24% atau 102 juta ton pada 2015 hingga mencapai 60% atau 240 juta ton pada 2019.
Penurunan target produksi batu bara nasional dan peningkatan target konsumsi batu bara domestik tersebut dimaksudkan untuk mengamankan penyediaan batu bara nasional untuk kepentingan industri dalam negeri. Adapun target konsumsi batu bara domestik menurut dokumen RPJMN 2015-2019 akan dijadikan acuan target konsumsi batu bara domestik yang diatur dalam Keputusan Menteri ESDM yang mengatur kebijakan DMO tiap tahunnya.
Kebijakan DMO (Domestic Market Obligation)
Selain untuk pasar ekspor, produksi batu bara nasional juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri (domestic market). Berdasarkan hal tersebut, pada tahun 2009 pemerintah menerbitkan kebijakan pengutamaan pasokan batu bara untuk dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No. 34 tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batu bara untuk Kepentingan Dalam Negeri.
Dalam peraturan tersebut, diatur nominal jumlah batu bara yang wajib dialokasikan untuk kepentingan dalam negeri, antara lain untuk konsumsi bahan bakar sektor pembangkit listrik (PLTU), serta konsumsi bahan bakar sektor industri (semen, tekstil, pupuk, pulp dan metalurgi/besi baja). Peraturan ini juga mengatur mengenai persentase produksi sejumlah perusahaan tambang (PKP2B, BUMN dan IUP) yang wajib dialokasikan bagi konsumsi dalam negeri.
Secara periodik per tahun, semua konsumen besar batu bara dalam negeri diwajibkan untuk melaporkan kebutuhan batu baranya. Dan semua perusahaan tambang batu bara yang memiliki kewajiban lapor, harus melaporkan juga rencana produksi batu baranya dalam bentuk dokumen RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya). Setiap tahun, pemerintah akan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan DMO ini, dan akan memberikan sanksi berupa sanksi adminstratif (teguran tertulis) hingga pemotongan produksi sebesar 50% bagi pihak yang tidak dapat memenuhi kuota pemenuhan batu bara dalam negeri. Kebijakan DMO batu bara tersebut telah diterapkan sejak tahun 2010.
Ekspor Batu Bara Nasional
Sebagian besar dari produksi batu bara Indonesia diekspor ke luar negeri dengan tujuan China, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Taiwan, Hongkong, Taiwan, Filipina, Thailand, Spanyol dan lainnya. Di Jepang batu bara Indonesia digunakan di PLTU, untuk peleburan baja dan logam lainnya. Di Cina dimanfaatkan untuk bahan bakar pabrik, pembangkitan listrik dan sebagian disimpan untuk stock.
Rata-rata persentase batu bara yang diekspor selama tahun 2000-2009 adalah 74,3% produksi nasional. Besarnya persentase ekspor batu bara ini di satu sisi mendatangkan manfaat ekonomi berupa tambahan pemasukan negara, namun di sisi lain juga menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya stok batu bara nasional, terutama dalam hal keamanan pasokan batu bara untuk kepentingan dalam negeri.
Pada tahun 2010 volume ekspor batu bara mencapai 210 juta ton, empat tahun kemudian (2014) telah mencapai 402 juta ton. Artinya terjadi peningkatan sebesar 91,43% selama empat tahun, atau rata-rata tumbuh 22,86% per tahun. Namun pada tahun 2015, ekspor batu bara mengalami penurunan hingga 5 tahun sesudahnya, yaitu pada 2018 yang tercatat 311 juta ton. Baru pada tahun 2019 ekspor batu bara kembali mengalami kenaikan sebesar 51,77% menjadi 472 juta ton. Sayangnya pada tahun 2020 terjadi pandemi covid-19, sehingga angka ekspor pun kembali anjlok, hingga kuartal II-2020 volume ekspor batu bara baru tercatat 123 juta ton, atau sebesar 31,18 persen dari rencana ekspor yang mencapai 395 juta ton. (dezete)