Keunggulan sorgum dibanding bahan pangan lainnya tak diragukan. Menurut pakar ekonomi pertanian dari Universitas Negeri Jember, Khudori, sorgum jauh lebih unggul dalam kandungan protein, kalsium, fosfor, zat besi, dan serat ketimbang terigu dan beras. Kandungan besi dan fosfor misalnya, lebih besar 3-4 kali dari terigu dan beras. Karena itu Sorgum penting bagi ketahanan pangan Indonesia
Kandungan energi sorgum, terigu, dan beras masing-masing 332, 365, dan 360 kalori per 100 gram. Hampir seimbang. Namun, Indeks glikemik sorgum juga paling rendah, hanya 41. Sementara terigu dan beras 70 dan 90. Sorgum juga bebas gluten.
Kelebihan lain, sekali tanam sorgum bisa dikepras hingga tiga kali, semua bagian bisa dimakan, biji bisa langsung dimasak seperti beras, bisa tumbuh di lahan marjinal dan kering, dan tidak perlu perawatan khusus.
Dengan semua atribut ini, sorgum bukan saja layak jadi pangan sehat, terutama bagi penderita diabetes, tapi juga ramah lingkungan.
Mempersiapkan Infrastruktur Pengembangan Sorgum
Karena itu tak heran kalau Presiden Jokowi bersikukuh untuk mengembangkan tanaman sorgum sebagai bahan pangan alternatif selain beras, jagung, sagu, dan gandum. Bukti keseriusan itu Presiden telah memerintahkan para menterinya dan para kepala daerah untuk mempersiapkan infrastruktur atau sarana dan prasarananya agar program pengembangan tanaman sorgum itu segera berjalan dengan mulus.
Pertama yang disiapkan adalah lahannya. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah menyatakan bahwa lahan seluas 154.000 hektare telah disiapkan hingga tahun 2024. Saat ini telah ada lahan seluas 15.000 hektare yang tengah ditanami sorgum di 6 provinsi, yaitu Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Jawa Timur, hingga Lampung.
Selain itu, pemerintah juga tengah merancang peta jalan (road map) pengembangan sorgum nasional. Road map pengembangan sorgum hingga 2024, sasaran luas tanam pada tahun 2023 seluas 30.000 hektare. Target sebarannya di 17 provinsi dengan produksi sebesar 115.848 ton, asumsi provitas 4 ton per hektare. Sementara itu, sasaran luas tanam pada tahun 2024 seluas 40.000 hektare yang tersebar di 17 provinsi dengan produksi sebesar 154.464 ton asumsi provitas 4 ton per hektare.
Mengembangkan Varietas Sorgum
Selanjutnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) diperintahkan untuk mengembangkan varietas sorgum. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga ditugaskan untuk mempersiapkan kebutuhan air dalam bentuk irigasi ataupun embung di wilayah klaster pertama yang dicoba, yakni di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Lebih dari itu, Kementerian Pertanian (Kementan) akan mengatur penyerapan sorgum di dalam negeri melalui mekanisme serupa dengan syarat impor. Caranya, yaitu mewajibkan importir untuk menyerap sorgum produksi petani lokal apabila ingin mendapatkan persetujuan impor gandum dari pemerintah.
Presiden Jokowi juga meminta kepada Kementerian Pertanian untuk menyiapkan alsintan dan menyiapkan ternak sehingga ekosistem sorgum dapat terbentuk di Kabupaten Waingapu, NTT. Adapun Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) beserta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyiapkan pengembangan bioetanol.
Memfasilitasi Lahan Pertanian Sosial
Demi mengampanyekan ketahanan pangan untuk menghindari krisis pangan, Jokowi juga memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar untuk memfasilitasi rakyat dengan menyediakan lahan untuk pertanian sosial. Jokowi meminta Siti mendata lahan-lahan yang tak terpakai selama ini. Dia ingin semua lahan digunakan secara produktif. Dia menyebut masyarakat bisa menanam porang, jagung, sorgum, dan tanaman lainnya.
“Saya mengajak kita semuanya untuk menanam tanaman-tanaman yang menghasilkan bahan pangan pokok. Saudara-saudara bisa ditanami padi atau jagung atau apa, silakan,” kata Jokowi di Batang, dikutip dari keterangan tertulis Sekretariat Presiden.
Sorgum Pilihan yang Tepat
Pilihan Jokowi pada komoditas sorgum untuk dikembangkan di Indonesia merupakan hal yang tepat. Mengingat secara iklim, Indonesia adalah negara yang beriklim tropis dan banyak lahan yang kering, sehingga sangat cocok dengan habibat asli sorgum yang berasal dari wilayah Abessiania, Ethiopia, Afrika Timur. Sorgum adalah tanaman yang tumbuh baik pada agroklimat kering dengan suhu tinggi, curah hujan rendah, dan lahan yang relatif terdegradasi. Sedangkan lahan kering, rawa, dan lahan masam yang tersedia di Indonesia cukup luas, sekitar 38,7 juta hektar.
Apalagi di Indonesia terdapat spesies sorgum asli Asia, yaitu sorgum timorense (down sorgum), yang merupakan satu dari 30 spesies sorgum yang ada di dunia. Menurut Neni Iriany dkk, dari Balai Penelitian Tanaman Serelia Kementerian Pertanian, Sorgum timorense di Pulau Timor dikenal dengan nama rumput kume dan merupakan salah satu sumber pakan utama untuk ternak sapi di NTT. Rumput kume bersifat tanaman tahunan, tumbuh cepat selama musim hujan (November s/d April), cepat menua dan berbunga serta berbiji, mengering sebagai rumput kering (standing hay) di lapangan jika tidak dipanen.
Selain itu, sorgum jenis tanaman yang mudah dibudidayakan, tidak terlalu membutuhkan banyak air, dan tahan terhadap hama. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian 0 hingga 800 mdpl dengan suhu 23 derajat hingga 30 derajat celcius dan kelembapan 20% sampai 40%. Curah hujan yang diperlukan adalah 372-425 mm per tahun dengan kadar pH tanah 5 hingga 7,5.
Alhasil, upaya pemerintah Indonesia melakukan diversifikasi pangan, untuk mengurangi konsumsi beras dan mengantisipasi krisis pangan, dengan mengembangkan tanaman sorgum dinilai sangat tepat. Apalagi nilai ekonomis dan produktivitas tanaman sorgum sangat tinggi, dimana setiap 1 hektare lahan bisa menghasilkan 3-5 ton biji sorgum senilai sekitar Rp 50 juta dalam satu tahun atau Rp 4 juta lebih per bulan.
Disamping itu, sorgum memiliki banyak manfaat. Sejauh ini manfaat yang diketahui antara lain sebagai bahan pangan potensial, bahan antioksidan, dapat meningkatkan daya tahan tubuh, bagus bagi penderita diabetes, dan sebagai sumber energi alternatif bioetanol.
Sebagai bahan pangan, sorgum dapat dimanfaatkan untuk makanan pokok, seperti halnya padi, jagung maupun gandum. Juga bisa untuk bahan baku industri makanan dan minuman (mamin) dan obat-obatan atau kesehatan, maupun pakan ternak. Dan masih banyak manfaat lainnya.
Jangan Mengulang Kegagalan Food Estate
Hanya masalahnya adalah konsistensi, sejauhmana program pengembangan tanaman sorgum ini akan terus berlanjut? Jangan sampai program ini mengulang kisah pilu program-program lain sebelumnya yang terbengkalai. Misalnya, proyek lumbung pangan (food estate) di Kalimantan Tengah yang beberapa tahun lalu dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo.
Hal itu yang sangat disayangkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), merespons tanaman singkong di lahan seluas 600 hektare di Gunung Mas, Desa Tewai Baru Kalteng yang tidak terurus. “Kegagalan lumbung pangan di Kalteng itu bukti pemerintah tidak belajar dari pengalaman. Pasalnya, program food estate secara historis, sejak masa Presiden Soeharto, tak pernah mendulang cerita sukses,” kata Uli Arta Siagian, Pengkampanye Hutan dan Kebun WALHI, kepada CNNIndonesia.com, 31 Agustus 2022.
Uli Arta menambahkan, food estate di Kalimantan banyak dilakukan di lahan gambut. Padahal, tidak semua tanaman bisa di tanam di lahan tersebut, sehingga proyek food estate banyak menjadi gagal. Hal ini karena tidak banyak mempertimbangkan karakteristik tanah.
Sebelumnya, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mengkritik proyek ketahanan lumbung pangan nasional atau food estate yang dilakukan pemerintah. Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM Satyawan Pubdyatmoko menilai biaya produksi untuk program food estate di lahan gambut terbilang mahal, tetapi keuntungannya sedikit.
Hal itu ia ketahui dari kegiatan proyek percobaan (pilot project) yang dilakukan BRGM di Desa Talio Hulu, Kalimantan Tengah. Ia menyebutkan hasil food estate di lahan gambut lebih sedikit dibanding di lahan mineral. “Saya katakan, biayanya besar, tapi produktivitasnya hanya 4 ton per hektare. Padahal kalau di tanah mineral itu bisa 7-8 ton. Kalau yang bagus mungkin bisa sampai 10 ton,” ungkapnya.
Khawatir Nasib Sorgum Seperti Porang
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPR RI Sudin juga ikut mempertanyakan program Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pengembangan sorgum untuk menggantikan gandum di Tanah Air. Ia khawatir program itu akan sia-sia karena tak ada pihak yang mau membeli sorgum. Pasalnya, tak ada kandungan gluten di sorgum.
“Presiden (Jokowi) menekankan untuk menanam sorgum, karena seperti kemarin, setelah perayaan ekspor porang selesai ya selesai. Harga porang jatuh. Sekarang pikirkan kalau sorgum nanti setelah rakyat menanam yang beli siapa, yang tanggung jawab siapa,” ucap Sudin dalam rapat kerja Komisi IV DPR bersama Kementerian Pertanian (Kementan), pada 31 Agustus lalu.
Menurut Sudin, sorgum tak bisa 100 persen menggantikan gandum sebagai bahan produk makanan, seperti mie. Maka dari itu, tak ada jaminan bahwa sorgum akan laris manis saat panen. “Sorgum itu tidak ada gluten-nya. Kalau subtitusi untuk mi tidak lebih dari 20 persen,” lanjut Sudin.
Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk memperbanyak bantuan pembuatan tepung singkong. Pasalnya, hal itu lebih bermanfaat dibandingkan sorgum. “Jangan nasibnya (sorgum) seperti porang kedua, kenapa tidak diperbanyak bantuan untuk pembuatan tepung singkong, itu lebih bermanfaat,” jelas Sudin.
Mekanisme Penyerapan Pasar Sorgum
Tentang kekhawatiran Ketua Komisi IV DPR RI Sudin itu telah ditepis oleh pihak pemerintah, dalam hal ini Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Menurutnya, Kementerian Pertanian (Kementan) akan mengatur penyerapan sorgum di dalam negeri melalui mekanisme serupa dengan syarat impor. Caranya, yaitu mewajibkan importir untuk menyerap sorgum produksi petani lokal apabila ingin mendapatkan persetujuan impor gandum dari pemerintah.
“Offtaker sorgum itu adalah semua pelaku industri yang mengimpor gandum. Jangan lupa, volume impor gandum itu sudah 11 juta ton,” kata Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di Kompleks Gedung DPR, pada 16 Agustus 2022. Syahrul mengatakan, Presiden Joko Widodo telah menyetujui skema tersebut.
Indofood Siap Serap Pasar Sorgum
PT Indofood Sukses Makmur Tbk menyatakan siap mengembangkan mie instant berbahan dasar sorgum untuk menggantikan gandum impor. Artinya, produsen mie instant terbesar di dalam negeri (bahkan dunia) tersebut siap menyerap sorgum produksi petani lokal.
Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang alias Franky Welirang mengaku tengah mengembangkan pemanfaatan bahan baku lokal, sorgum, untuk mengantisipasi krisis pangan global.
“Kita dengan Pak Mentan SYL (Syahrul Yasin Limpo) memperbincangkan banyak hal, tapi intinya bagaimana kita saat ini bisa mengembangkan bahan baku lokal seperti sorgum. Jadi, nanti ada program pengembangan tanaman sorgum bersama-sama,” ujar Franky seperti dikutip dari keterangan resmi Kementerian Pertanian, pada 12 Agustus 2022.
Bos produsen mie instant merek “Indomie” ini mengatakan pengembangan sorgum sangat penting untuk menggantikan tepung terigu berbahan gandum impor yang saat ini mulai sulit didapatkan akibat krisis global.
Sorgum, menurutnya, merupakan tanaman asli Indonesia yang bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan pangan nasional. Sebagai pelaku industri pangan berbasis gandum, sambung Franky, Indofood siap melakukan proses pengolahan sorgum.
Semoga Jadi Produsen dan Eksportir Sorgum !
Program pengembangan komoditas sorgum di tanah air kita harapkan mendapatkan keberhasilan, dan tidak mengulang kegagalan proyek food estate maupun tanaman porang. Sehingga kebutuhan pasar tepung terigu yang dari gandum sebesar 6,90 juta ton per tahun, serta volume impor gandum sekitar 11 juta ton, dapat dipenuhi oleh komoditas sorgum yang kita kembangkan. Posisi Indonesia yang tadinya sebagai pengimpor terbesar gandum, semoga bisa berubah menjadi produsen dan eksportir produk-produk olahan berbahan sorgum. (dezete)